Senin, 28 Juni 2021

Kaidah Penggunaan Dhamir


Terdapat sebuah kaidah penting dalam penggunaan dhamir : bahwa jika penggunaan dhamir muttashil itu memungkinkan dalam sebuah kalimat, maka kita tidak perlu menggunakan dhamir munfashil. Hal itu disebabkan karena tujuan utama penggunaan dhamir adalah untuk meringkas kalimat. Dan kita mengetahui bahwa dhamir muttashil itu jauh lebih ringkas dibandingkan dhamir munfashil. Sebagai contoh, lafaz maf’ul bihi yang ada di kalimat:


أَكْرَمْتُكَ


Saya memuliakanmu


Dhamir muttashil kaf yang ada di kalimat tersebut menempati kedudukan nashab sebagai maf’ul bihi. Bandingkan jika kita menggunakan dhamir munfashil sebagai maf’ul bihi, seperti pada contoh:


أَكْرَمْتُ إِيَّاكَ


Saya memuliakanmu


Maka kita dapat melihat bahwa bentuk kalimatnya menjadi lebih panjang, dan ini menyelisihi tujuan utama penggunaan dhamir, yaitu membuat kalimat yang ringkas.


Namun, dalam kondisi tertentu, terkadang kita harus menggunakan dhamir munfashil dalam sebuah kalimat. Hal ini disebabkan karena pada kondisi tertentu, dhamir muttashil tidak dapat digunakan. Kondisi-kondisi tersebut adalah:


1. Dhamir didahulukan dari ‘amilnya karena adanya motif balaghah, yaitu memberikan faidah qashar (pengkhususan). Contohnya sebagaimana dalam firman Allah ﷻ dalam surat Al-Fatihah ayat 5:


إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ


Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan


Lafaz إِيَّاكَ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Hukum asalnya, maf’ul bihi terletak setelah ‘amil (yaitu fi’ilnya), namun dalam ayat ini didahulukan dari ‘amil untuk membawa faidah qashar.


Contoh lain dapat dilihat pada kalimat:


إِيَّاكَ كَافَأَ الْمُدَرِّسُ


Kepadamulah Pak Guru memberikan penghargaan


2. Dhamir terletak setelah lafaz إِلَّا untuk membawa faidah hashar (pengkhususan). Contohnya sebagaimana dalam firman Allah ﷻ dalam surat Al-Isro’ ayat 23:


وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوْا إِلَّا إِيَّاهُ


Dan Rabmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia


Lafaz إِيَّاهُ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Karena dhamir tersebut terletak setelah lafaz إِلَّا, maka susunan ini membawa faidah hashar.


Contoh lain dapat dilihat pada kalimat:


رَبَّنَا لَا نَرْجُوْا إِلَّا إِيَّاكَ


Wahai Rab kami, tidak ada yang kami inginkan kecuali Engkau


Lafaz إِيَّاكَ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Karena dhamir tersebut terletak setelah lafaz إِلَّا, maka susunan ini membawa faidah hashar.


3. Ketika di antara dhamir dan ‘amilnya ada ma’mul yang lain. Contohnya sebagaimana dalam firman Allah ﷻ dalam surat Al-Mumtahanah ayat 1:


يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَإِيَّاكُمْ


Mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu


Lafaz إِيَّاكُمْ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Dhamir muttashil tidak dapat digunakan di sini karena antara fi’il يُخْرِجُوْنَ dan dhomir إِيَّاكُمْ diperantarai oleh ma’mul yang lain, yaitu الرَّسُوْلَ.


Contoh lain dapat dilihat pada kalimat:


نَحْنُ نُكْرِمُ الْعُلَمَاءَ وَ إِيَّاكُمْ


Kami memuliahkan para ulama dan kalian


Lafaz إِيَّاكُمْ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Dhamir muttashil tidak dapat digunakan di sini karena antara fi’il نُكْرِمُ dan dhamir إِيَّاكُمْ diperantarai oleh ma’mul yang lain, yaitu الْعُلَمَاءَ.


4. Darurat syi’ir, sebagaimana ucapan Ziyad bin Munqizh Al-‘Adawi At-Tamimi ketika mengingat keluarganya:


وَ مَا أُصَاحِبُ مِنْ قَوْمٍ فَأَذْكُرَهُمْ      إِلَّا يزِيْدُهُمْ حُبًّا إِلَيَّ هُمْ


Tidaklah aku bersama dengan suatu kaum kemudian mengingatnya, melainkan justru mereka akan menumbuhkan kecintaanku kepada mereka


Lafaz هُمْ yang bersambung dengan fi’il يِزِيْدُ merupakan maf’ul bihi yang menjadi perantaraan. Lafaz هُمْ yang ada di akhir syair tersebut merupakan fa’ilnya. Di mana seharusnya kalimatnya berbentuk :


 إِلَّا يزِيْدُوْنَهُمْ حُبًّا إِلَيَّ


Namun wawu jama’ah dikeluarkan menjadi dhamir munfashil karena ada keperluan penyeragaman rima syair.


@mutiara_lughah_arab

Abdul Fatah ZA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar