Rabu, 21 Juli 2021

Keistimewaan bahasa arab 5

 



keistimewaan Bahasa Arab.


خلق ، جعل ، فاطر

Secara umumnya mempunyai makna yang sama yaitu Menjadikan/Menciptakan.

Namun mempunyai makna spesifik yang berbeda.


 خلق

Menciptakan sesuatu (yang belum ada) dari sesuatu (yang telah ada) menjadi sesuatu yang baru.

Contoh :

خلق الإنسان من علق

 

جعل

Mengubah kejadian sesuatu (yang telah ada) menjadi sesuatu yang lain.

Contoh :

جعل الشمس ضياء والقمر  نورا


فطر

Menciptakan sesuatu dari tidak ada/Menciptkan pertama kali.

Contoh :

الحمد لله فاطر السمٰوٰت والارض

Senin, 19 Juli 2021

Keistimewaan Bahasa Arab 4



خلق , جعل ، فطر

Secara umumnya mempunyai makna yang sama yaitu Menjadikan/Menciptakan.

Namun mempunyai makna spesifik yang berbeda.



 خلق ◻

Menciptakan sesuatu (yang belum ada) dari sesuatu (yang telah ada) menjadi sesuatu yang baru.

Contoh :

خلق الإنسان من علق


 جعل ◻

Mengubah kejadian sesuatu (yang telah ada) menjadi sesuatu yang lain.

Contoh :

جعل الشمس ضياء والقمر  نورا


◻ فطر

Menciptakan sesuatu dari tidak ada/Menciptkan pertama kali.

Contoh :

الحمد لله فاطر السمٰوٰت والارض

Rabu, 14 Juli 2021

Isim Masdar



اسم المصدر هو ما دل على معنى المصدر و نقص عن حروف فعله بدون تقدير للمحذوف و لا تعويض منه

Isim masdar sama halnya dengan Masdar, dalam artian mempunyai makna hudus. Namun Isim Masdar tidak mempunyai semua dari huruf fi'ilnya, sedangkan Masdar mempunyai semua dari huruf fi'ilnya, adakala ditakdirkan atau diganti.


- seperti contoh : قاتل - قتالا

Alif yang ada pada fi'ilnya ditakdirkan dan nampak pada Masdar yang lainnya, yaitu قيتالا.


- seperti contoh : وعد - عدة

Waw yang ada pada fi'il digantikan dengan ta marbutah yang diakhir.


Adapun Isim Masdar kurang dari huruf fi'ilnya tanpa ditakdirkan ataupun diganti.


Contoh :

توضّأ - وضوء

تكلّم - كلاما

انبت - نبات

▶Adanya Isim Masdar bukan menandakan bahwa kalimat tersebut tidak mempunyai Masdar, melainkan adanya Isim Masdar adalah bentuk dari kekayaan bahasa arab.


▶Masdar dari fi'il diatas adalah :

توضّأ - توضُّأ

تكلّم - تكلُّما

انبت - إنباتا

Senin, 28 Juni 2021

Kaidah Penggunaan Dhamir


Terdapat sebuah kaidah penting dalam penggunaan dhamir : bahwa jika penggunaan dhamir muttashil itu memungkinkan dalam sebuah kalimat, maka kita tidak perlu menggunakan dhamir munfashil. Hal itu disebabkan karena tujuan utama penggunaan dhamir adalah untuk meringkas kalimat. Dan kita mengetahui bahwa dhamir muttashil itu jauh lebih ringkas dibandingkan dhamir munfashil. Sebagai contoh, lafaz maf’ul bihi yang ada di kalimat:


أَكْرَمْتُكَ


Saya memuliakanmu


Dhamir muttashil kaf yang ada di kalimat tersebut menempati kedudukan nashab sebagai maf’ul bihi. Bandingkan jika kita menggunakan dhamir munfashil sebagai maf’ul bihi, seperti pada contoh:


أَكْرَمْتُ إِيَّاكَ


Saya memuliakanmu


Maka kita dapat melihat bahwa bentuk kalimatnya menjadi lebih panjang, dan ini menyelisihi tujuan utama penggunaan dhamir, yaitu membuat kalimat yang ringkas.


Namun, dalam kondisi tertentu, terkadang kita harus menggunakan dhamir munfashil dalam sebuah kalimat. Hal ini disebabkan karena pada kondisi tertentu, dhamir muttashil tidak dapat digunakan. Kondisi-kondisi tersebut adalah:


1. Dhamir didahulukan dari ‘amilnya karena adanya motif balaghah, yaitu memberikan faidah qashar (pengkhususan). Contohnya sebagaimana dalam firman Allah ﷻ dalam surat Al-Fatihah ayat 5:


إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ


Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan


Lafaz إِيَّاكَ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Hukum asalnya, maf’ul bihi terletak setelah ‘amil (yaitu fi’ilnya), namun dalam ayat ini didahulukan dari ‘amil untuk membawa faidah qashar.


Contoh lain dapat dilihat pada kalimat:


إِيَّاكَ كَافَأَ الْمُدَرِّسُ


Kepadamulah Pak Guru memberikan penghargaan


2. Dhamir terletak setelah lafaz إِلَّا untuk membawa faidah hashar (pengkhususan). Contohnya sebagaimana dalam firman Allah ﷻ dalam surat Al-Isro’ ayat 23:


وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوْا إِلَّا إِيَّاهُ


Dan Rabmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia


Lafaz إِيَّاهُ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Karena dhamir tersebut terletak setelah lafaz إِلَّا, maka susunan ini membawa faidah hashar.


Contoh lain dapat dilihat pada kalimat:


رَبَّنَا لَا نَرْجُوْا إِلَّا إِيَّاكَ


Wahai Rab kami, tidak ada yang kami inginkan kecuali Engkau


Lafaz إِيَّاكَ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Karena dhamir tersebut terletak setelah lafaz إِلَّا, maka susunan ini membawa faidah hashar.


3. Ketika di antara dhamir dan ‘amilnya ada ma’mul yang lain. Contohnya sebagaimana dalam firman Allah ﷻ dalam surat Al-Mumtahanah ayat 1:


يُخْرِجُوْنَ الرَّسُوْلَ وَإِيَّاكُمْ


Mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu


Lafaz إِيَّاكُمْ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Dhamir muttashil tidak dapat digunakan di sini karena antara fi’il يُخْرِجُوْنَ dan dhomir إِيَّاكُمْ diperantarai oleh ma’mul yang lain, yaitu الرَّسُوْلَ.


Contoh lain dapat dilihat pada kalimat:


نَحْنُ نُكْرِمُ الْعُلَمَاءَ وَ إِيَّاكُمْ


Kami memuliahkan para ulama dan kalian


Lafaz إِيَّاكُمْ memiliki kedudukan sebagai maf’ul bihi. Dhamir muttashil tidak dapat digunakan di sini karena antara fi’il نُكْرِمُ dan dhamir إِيَّاكُمْ diperantarai oleh ma’mul yang lain, yaitu الْعُلَمَاءَ.


4. Darurat syi’ir, sebagaimana ucapan Ziyad bin Munqizh Al-‘Adawi At-Tamimi ketika mengingat keluarganya:


وَ مَا أُصَاحِبُ مِنْ قَوْمٍ فَأَذْكُرَهُمْ      إِلَّا يزِيْدُهُمْ حُبًّا إِلَيَّ هُمْ


Tidaklah aku bersama dengan suatu kaum kemudian mengingatnya, melainkan justru mereka akan menumbuhkan kecintaanku kepada mereka


Lafaz هُمْ yang bersambung dengan fi’il يِزِيْدُ merupakan maf’ul bihi yang menjadi perantaraan. Lafaz هُمْ yang ada di akhir syair tersebut merupakan fa’ilnya. Di mana seharusnya kalimatnya berbentuk :


 إِلَّا يزِيْدُوْنَهُمْ حُبًّا إِلَيَّ


Namun wawu jama’ah dikeluarkan menjadi dhamir munfashil karena ada keperluan penyeragaman rima syair.


@mutiara_lughah_arab

Abdul Fatah ZA

Mengenal Masdar

 


MASDAR

---------------------


Kalimat Masdar pada kebiasaannya mempunyai beberapa Ketentuan.


1. Apabila Masdar Sulasi Mujarrad Mutaadi.

>>> Maka Masdarnya dalam wazan فَعْلا

Contoh : قَولا ، رَميا ، نَصرا


2. Apabila Masdar dari Fi'il Lazim yang kasrah Ain Fi'il Madhi.

>>> Maka Masdarnya dalam wazan فَعَل

Contoh : فَرِح - فَرَحا ، حَزِن - حَزَنا


3. Apabila Masdar dari Fi'il Lazim yang fathah Ain Fi'il Madhi.

>>> Maka Masdarnya dalam wazan فُعُول

Contoh : دَخَل - دُخُولا ، خَرَج - خُرُوجا


4. Apabila Masdar dari Fi'il yang Dhummah Ain Fi'il Madhi.

>>> Maka Masdarnya dalam wazan فُعُولَة atau فَعَالة

Contoh : سَهُل - سُهُولَة ، فَصُح - فَصَاحَة


---------------------

◻ Ketentuan diatas berdasarkan kebiasaannya. Karena pada dasarnya Masdar Sulasi Mujarrad adalah Sima'i.


◻ Wazan - Wazan Masdar Sulasi Mujarrad.


~ فُعَل - هُدًى

~ فِعلَة - شِدَّة

~ فَعلَة - رَحمَة

~ فِعلَان - حِرمَان

~ فُعلَان - غُفرَان

~ فِعَالَة - دِرَايَة

~ فَعُول - قَبُول

~ فُعُولَة - صُعُوبَة

~ فَعلُولَة - صَيرُورَة

~ تُفعُولَة - تَهلُوكَة


Dan masih ada beberapa lagi yang lainnya.


(Abdul Fatah ZA)

Kamis, 05 November 2020

Apakah Jumlah itu Nakirah atau Makrifah



Jumlah agar sah bertempat pada posisi i'rab mesti dahulu ia bertempat pada posisi mufrad dan jumlah itu di takwilkan (dipalingkan) kepada mufrad, maka bila jumlah itu menjadi na'at atau hal tentunya jumlah itu di i'rab, dan jumlah tersebut harus berposisi pada posisi mufrad.

Tatkala jumlah bukan mufrad pada hakikat  maka jumlah ini tidak bisa di kategorikan kepada nakirah atau makrifah sebagaimana pendapat Ar Radhi, karena nakirah dan makrifah hanya terletak pada isim, tetapi jumlah ini digolongkan kepada bagian mufrad.

Lantas timbul pertanyaan yg lain :
 "Mufrad tersebut apakah nakirah atau makrifah ?"

Pertanyaan ini bukan tertuju kepada jumlah tetapi kepada mufrad.

Kemudian, ketika mufrad ini tiada jelas, timbul keraguan apakah ia nakirah atau makrifah, maka kembali kepada asalnya. Asal setiap isim adalah nakirah bukan makrifah, maka maksud mufrad disini adalah mufrad yang nakirah.

Oleh karena itu, jumlah yang terletak setelah makrifah sah dijadikan sebagai hal karena lengkap syarat dan tiada penegah. Dan jumlah yang jatuh setelah makrifah tidak bisa di jadikan sebagai na'at karena adanya penegah, yaitu seandainya kita jadikan sebagai na'at sungguh jumlah itu menjadi nakirah dan tidak sesuai dengan matbu' nya yang makrifah.

Alasan jumlah ini bisa dijadikan sebagai hal karena para ulama tidak mensyaratkan adanya persamaan antara hal dan Sahib hal-nya dari segi nakirah dan makrifahnya, akan tetapi syarat hal menurut pendapat shahih adalah tidak muthabaqah (sesuai) karena hal harus nakirah dan shahib halnya makrifah.