Jumlah agar sah bertempat pada posisi i'rab mesti dahulu ia bertempat pada posisi mufrad dan jumlah itu di takwilkan (dipalingkan) kepada mufrad, maka bila jumlah itu menjadi na'at atau hal tentunya jumlah itu di i'rab, dan jumlah tersebut harus berposisi pada posisi mufrad.
Tatkala jumlah bukan mufrad pada hakikat maka jumlah ini tidak bisa di kategorikan kepada nakirah atau makrifah sebagaimana pendapat Ar Radhi, karena nakirah dan makrifah hanya terletak pada isim, tetapi jumlah ini digolongkan kepada bagian mufrad.
Lantas timbul pertanyaan yg lain :
"Mufrad tersebut apakah nakirah atau makrifah ?"
Pertanyaan ini bukan tertuju kepada jumlah tetapi kepada mufrad.
Kemudian, ketika mufrad ini tiada jelas, timbul keraguan apakah ia nakirah atau makrifah, maka kembali kepada asalnya. Asal setiap isim adalah nakirah bukan makrifah, maka maksud mufrad disini adalah mufrad yang nakirah.
Oleh karena itu, jumlah yang terletak setelah makrifah sah dijadikan sebagai hal karena lengkap syarat dan tiada penegah. Dan jumlah yang jatuh setelah makrifah tidak bisa di jadikan sebagai na'at karena adanya penegah, yaitu seandainya kita jadikan sebagai na'at sungguh jumlah itu menjadi nakirah dan tidak sesuai dengan matbu' nya yang makrifah.
Alasan jumlah ini bisa dijadikan sebagai hal karena para ulama tidak mensyaratkan adanya persamaan antara hal dan Sahib hal-nya dari segi nakirah dan makrifahnya, akan tetapi syarat hal menurut pendapat shahih adalah tidak muthabaqah (sesuai) karena hal harus nakirah dan shahib halnya makrifah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar